Novel Refrain Winna Efendi

Posted : admin On 15.09.2019

Novel karya Winna Efendi ini sangatlah tidak asing dikalangan remaja. Bagaimana tidak, dengan mengusung tema. Didalam Novel Refrain, cerita yang.

Email nama, alamat lengkap, nomor telepon dan judul yang diinginkan ke winna.efendi@gmail.com, subjek Beli Buku. Email akan dibalas dalam 1x24 jam dengan jumlah + ongkos kirim JNE reguler yang perlu ditransfer ke BCA, dan pembayaran ditunggu 1x24 jam setelah email konfirmasi dikirimkan, jika tidak pemesanan dianggap batal ya. Setelah pembayaran, mohon konfirmasi dengan jumlah dan nama pentransfer, dan buku akan dikirim via JNE setiap hari Selasa. Nomor resi akan diemail menyusul. Masing-masing buku hanya 1 jadi kalau terjual nggak ada lagi:).

Pada umumnya, sang editor akan mengabari bahwa naskah sudah diterima dan sedang dibaca. Barulah selang beberapa bulan kemudian, editor akan mengabari 'nasib' sang naskah. Ada tiga pilihan di sini: ditolak, butuh revisi, atau siap jalan.

Ditolak berarti naskah tidak akan diproses menjadi buku untuk diterbitkan di penerbit tersebut. Siap jalan berarti naskah siap langsung diproses menjadi buku dan mengikuti berbagai prosedur di penerbit. Seringnya, naskah masuk ke status butuh revisi.

Ini berarti, editor akan berkomunikasi dengan penulis tentang berbagai revisi yang dirasa perlu agar naskah lebih maksimal. Misal, dialognya kurang interaktif. Plot ini kayaknya nggak perlu, deh. Ada inkonsistensi di bagian ini, coba diperbaiki. Karakternya kurang berkembang. Dan masih banyak lagi, tergantung naskah tersebut.

Nantinya, editor akan memberikan tenggat waktu untuk revisi ini sampai harus dikembalikan lagi ke editor, dan prosesnya terus berlangsung sampai editor merasa naskah sudah oke. Setelah naskah selesai diproofread dan sudah memiliki layout serta pilihan alternatif kover, editor akan menghubungi penulis agar kembali membaca dan melihat hasil akhir sebelum dicetak. Biasanya, saya akan membaca kembali naskah tersebut dua kali, dan mengirimkan surel ke editor untuk menandai bagian yang mungkin membutuhkan koreksi, misal ejaan. Editor dan penulis bekerja sama untuk memastikan naskahnya bebas typo, dan semuanya konsisten. Untuk kover, saya ikut voting alternatif kover yang sekiranya tepat untuk si buku, namun pada akhirnya sepenuhnya menjadi hak penerbit untuk memilih. Karena penerbitlah yang paling memahami pasar dan tren, dan mewakili penulis untuk mempersiapkan yang terbaik bagi bukunya. Saya bukan seorang penulis full time.

Novel karya winna efendiEfendi

Sebelum menjadi penulis, saya memiliki banyak peran lain - seorang anak, seorang karyawan penuh waktu, seorang jurnalis paruh waktu, seorang wirausahawati. Tahun lalu, saya mengambil peran seorang istri, dan tahun depan, seorang ibu. Saya juga sempat menjajali proofreading, dan banyak peran-peran kecil lain di luar penulis. Tapi, entah kenapa menjelma menjadi penulis adalah salah satu hal yang paling mendarahdaging dalam perjalanan karir profesional saya sejauh ini. Ya, meskipun tidak menulis sepanjang hari. Meskipun dalam setahun kadang saya tidak menelurkan karya.

Novel Karya Winna Efendi

Walau blog ini bisa saja kosong selama sebulan penuh. Suka duka menulis, tentu banyak.

Entah bagaimana saya harus mendeskripsikan rasa, karena rasa itu rumit dan subjektif. Yang saya tahu, saya menyukai perasaan pada kala kata-kata bagaikan muncul begitu saja lewat tarian jemari pada keyboard laptop. Saya menyukai bagaimana karakter-karakter saya dengan sabar menuntun saya menuju cerita mereka, masuk ke dalamnya dan bermain di sana, sampai saatnya saya pergi. Saya menyukai rasa lega sekaligus puas yang menyusup begitu hari berakhir dengan beberapa ribu kata terketik rapi dalam file di komputer. Dan ketika naskah berubah menjadi buku, ketika kerjasama dengan editor, penata layout, pembuat kover dan proofreader menghasilkan sesuatu yang fisik dan dapat dibaca oleh orang lain, rasa itu menjadi lebih sulit untuk diterjemahkan. Pada saat-saat seperti ini, kebahagiaan yang dirasakan rasanya lebih besar dari harta materi yang bersanding dengan keberhasilan sebuah buku. Duka - tentu saja setiap penulis memiliki porsinya akan duka, begitu pula dengan saya.

Duka sederhana seperti membaca resensi buruk dari seorang pembaca yang tidak menyukai karya saya, misalnya, meskipun dalam tahun-tahun ini, saya telah belajar bahwa karya dan selera adalah subjektif - either you like it or you don't, and either way it's alright. Surat-surat penolakan naskah yang saya kumpulkan dalam folder khusus.

Berbagai kesalahpahaman dari orang-orang yang belum mengerti bahwa sebuah karya membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Buku-buku yang flop di pasaran dan menghilang begitu saja. Rumah keduanya adalah sebuah kolam renang dengan ukuran Olimpiade. Air jernih, lantai keramik berwarna biru, aroma klorin. Langit-langitnya setinggi dua lantai, dengan jendela kaca besar di lantai dua, sehingga setiap orang yang melintas dapat melihat jelas ke dalam. Jelas terlihat kolam renang itu seringkali dijadikan stadium untuk pertandingan. Instalasi lampu sorot terpasang di beberapa sudut pada langit-langit.

Garis-garis biru tua membagi area kolam renang, mengindikasikan garis batas setiap perenang. Kursi-kursi panjang untuk penonton berjejer di tepi kolam, dengan koridor yang sepertinya mengarah ke loker dan ruang ganti.

Dia menampung air dengan tangkupan tangannya, perlahan-lahan membiarkan air mengalir turun. “Marah, tentu aja pernah. Kecewa, putus asa, juga pernah. Pertama kali didiagnosa, aku nggak mau makan selama seminggu. Di awal-awal kemoterapi pun, aku sempat depresi berat. Mama sampai nangis karena udah nggak bisa bujuk aku. Kubilang, buat apa makan, kalau toh akhirnya nanti bakalan mati juga?

Mendingan mati sekarang daripada nunggu-nunggu lagi. Tapi Mia bikin aku sadar, itu bukan perkataan yang pantes buat diucapin ke orang yang sayang sama kita. Mereka selalu percaya dan punya harapan aku akan sembuh. Lalu, kenapa aku nggak bisa berbagi harapan yang sama?

Kenapa harus menyerah sama keadaan?”. Ketukan pintu kian keras. Aku membenamkan kepala yang sedari tadi terasa layaknya habis dihantam gada dalam-dalam di bawah bantal.

Dia berteriak, membuatku menyingkirkan bantal barang sejenak. 'Kamu tahu alamatku dari mana?' Dia nyengir, melihat kondisiku yang masih berbalutkan kaus tidur dua hari yang lalu, rambut tornado, dan muka merah yang bergantian dengan pucat. Tanpa banyak omong, ditempelkannya punggung lengan pada dahiku, lalu dahinya sendiri, dan kembali ke dahiku. 'Empat puluh derajat Celcius, sudah dua hari.'

'Sudah ke dokter?' Aku menggeleng. Lalu dia menggelengkan kepala juga, saat menemukan strip-strip obat yang setengah termakan di atas meja. Aspirin dan obat flu bercampur menjadi satu. 'Tidur,' perintahnya.

Aku tak perlu disuruh dua kali, dan langsung merayap ke balik selimut. 'Buku dan komik ada di sebelah sana. Kau bebas mengacak-acak selama mengembalikannya ke tempat semula.'

Dia menggumam tak jelas, dan sebelum aku berpikir lebih jauh tentang kehadiran perempuan pertama dalam kamar kosku selama tiga tahun terakhir ini, aku sudah jatuh tertidur. Aroma harum. Bawang, dan sesuatu yang agak pedas. Aku membuka mata, dan menangkap siluet seseorang dalam rok midi merah tua, sweter cokelat dan bertelanjang kaki. Dia belum pergi. Mo menoleh, tersenyum riang sembari membawakan dua mangkuk berisi sesuatu yang kental dan harum itu.

Winna

Di luar sudah gelap. 'Kamu nggak pulang?' Dia menggeleng. 'Kamu sakit,' jawabnya, seolah itu adalah alasan. C-media xear 3d sound audio driver vista. Padahal bukan. Aku baik-baik saja.'

Novel Winna Efendi

Lagi, dia menempelkan tangan di keningku. 'Panasnya belum turun, obatmu mungkin nggak cocok. Makanlah yang ini setelah perut terisi.' Di atas meja telah tersaji segelas air hangat dan strip baru berisi obat yang tak kukenal namanya, serta sebotol obat cair yang tampak seperti obat batuk. Entah kapan dia keluar untuk membelinya. Kamar kosku pun tampaknya lebih rapi, berbau lemon ketimbang kaus kotor yang belum sempat dicuci dan menumpuk di balik pintu. Aku mengendus dari tempat tidurku.

Someday Winna Efendi

Ketika kulihat isinya, potongan wortel dan kentang tenggelam di dalam kuah kecokelatan yang kental. Aroma yang tadi kucium datang dari bawang bombay yang ditumis nyaris gosong, bercampur dengan potongan daging. 'Orang sakit butuh energi dan makanan enak,' katanya, 'bukan beras cair nggak bertekstur yang nggak menimbulkan nafsu makan.

Beef stew buatanku lumayan, lho. Resepnya sudah ada dalam keluargaku turun-temurun.' Aku mencoba sesendok dengan tentatif.

Rasa gurih kaldu sapi yang direbus lama bersama sayuran lumer di lidah. Setelah bermangkuk-mangkuk mi instan dan tidur dengan perut kembung, masakan Mo ini membuatku tak ingin berhenti makan.

'Terima kasih.' Dia hanya tersenyum kecil. Mengantri soto dan martabak malam-malam. Naik bianglala di sore hari. Dan hari ini, dia telah membayarnya dengan kehadirannya, serta semangkuk beef stew yang membuatku hangat luar dalam. Jakarta, Indonesia Winna Efendi, writer of: Kenangan Abu-Abu (2008), Ai (2009), Refrain (2009), Glam Girls Unbelievable (2009), Remember When (2011), Unforgettable (2012), Truth or Dare (2012), Draft 1: Taktik Menulis Fiksi Pertamamu (2012), Melbourne: Rewind (2013), Tomodachi (2014), Happily Ever After (2014), Girl Meets Boy (2015). Berkontribusi untuk edisi pertama The Journeys (2011) - antologi kisah perjalanan 12 penulis dari Gagas Media.

Winna dapat dihubungi via email/FB winna.efendi@gmail.com, Twitter @WinnaEfendi atau Blog http://winna-efendi.blogspot.com.